MAKALAH PERANAN AKAL DAN WAHYU MENURUT MUKTAZILAH DAN ASWAJA
PERANAN AKAL DAN WAHYU
MENURUT MUKTAZILAH DAN ASWAJA
Makalah
Disusun
untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Tauhid
Dosen
Pengampu: Drs. H. M. Mudhofi, M.Ag.
Disusun Oleh :
Ahmad Kharir (1401016092)
Gayatri
Suryaningsih (1401016093)
Slamet Wibisono (1401016094)
Muhammad Hadiq (1401016095)
Hisnatul
Fajriyah (1401016096)
Fema Rahayu (1401016097)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2015
A.
Pendahuluan
Imam Ghazali sebagaimana ditulis dalam Ihya’ Ulumiddin, ada tiga hal
yang dapat menyelamatkan manusia agar selamat dan terhindar dari bujuk rayu
nafsu adalah akal, ilmu, dan ma’rifat.
Akal adalah fitrah pemberian Allah kepada makhluk yang disebut manusia
berupa kecerdasan dan naluri insaniyah. Berbeda dengan binatang yang tidak
diberi akal sehingga mereka hidup dengan cara menyesuaikan dengan keadaan
lingkungan di sekitarnya, maka dengan akalnya manusia bisa menguasai alam
semesta dan isinya dan membuat alam sekelilingya untuk disesuaikan dengan
kepentingan dan keperluannya, bahkan seleranya. Misalnya, kontur tanah yang
tidak merata dan berbukit-bukit justru menjadi sangat indah setelah diolah
dengan kecerdasan teknologis untuk menjadi lahan pemukiman.
Melalui akalnya pula, manusia bisa membedakan hal-hal benar dan salah,
baik dan buruk, pantas dan tidak pantas. Tak pelak, akal menjadi penentu harkat
dan martabat kemanusiaan manusia. Karena itu, manusia yang dalam tindakannya
tidak menggunakan akal berada dalam derajad yang sangat rendah.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang peranan akal dan wahyu
menurut paham aswaja dan muktazilah.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa pengertian
Wahyu dan Akal...?
2.
Bagaimana
peranan Akal dan Wahyu menurut Aswaja...?
3.
Bagaiaman
peranan Akal dan Wahyu menurut Muktazilah...?
C.
Pembahasan
1.
Pengertian Akal
dan Wahyu
Akal menurut KBBI berarti daya pikir untuk memahami sesuatu seperti
pikiran, ingatan manusia untuk melakukan segala daya upayanya serta menentukan
kemampuan melihat cara memahami lingkungan. Sehingga dapat diartikan sebagai
kemampuan utama seorang manusia untuk memahami lingkungan sekitarnya serta
untuk mewujudkan eksistensi di berbagai bidang agar bisa survive.
Wahyu menurut KBBI berarti petunjuk dari allah yang diturunkan
kepada para nabi dan rasul melalui mimpi. Jadi dapat diartikan sebagai pedoman
bagi para nabi untuk diajarkan kepada para umatnya.
Akal dan
wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan
perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun
harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekrti yang sangat
mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda
rasulullah SAW. Semua aliran juga berpegang kepada wahyu , dalam hal ini yang
terdapat pada aliran tersebut adalah hanya perbedaan dalam interpretasi.
Mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi
inilah, sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang
akal dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang hukum
Islam atau fiqih.
a.
Karakteristik wahyu:
ü Wahyu
baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Tuhan, Pribadi nabi Muhammad
yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam
turunnya wahyu.
ü Wahyu merupakan
perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan
waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
ü Wahyu itu
adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa
yang berlaku.
ü Apa yang
dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan
dengan prinsip-prinsip akal.
ü Wahyu itu
merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
ü Wahyu itu
menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun
larangan.
ü Sesungguhnya
wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam
rentang waktu yang cukup panjang.
Akal
menurut pendapat Muhammad Abduh adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia
dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain. Akal
adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya,
peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan
kebahagiaan bangsa-bangsa. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman
tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada
keyakinan, bukan pada pendapat dan akallah yang menjadi sumber keyakinan pada
Tuhan.
a.
Kekuatan akal.
ü Mengetahui
Tuhan dan sifat-sifatnya.
ü Mengetahui
adanya hidup akhirat.
ü Mengetahui
bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat
baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan
jahat.
ü Mengetahui
wajibnya manusia mengenal tuhan.
ü Mengetahui
wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiannya di akhirat.
ü Membuat
hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
b.
Kekuatan wahyu.
ü Wahyu
lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
ü Membuat
suatu keyakinan pada diri manusia
ü Untuk
memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
ü Wahyu
turun melalui para ucapan nabi-nabi.
ü
Demikian
juga persoalan wahyu dan akal, merupakan persoalan yang mendapatkan porsi
pembahasan lumayan besar dalam lingkup teologi (ilmu kalam) dalam Islam.
Persoalan wahyu dan akal muncul sebagai bentuk merespon realitas yang terjadi
diluar mereka apakah harus melihat dan memahaminya lewat akal atau lewat wahyu.
Aliran-aliran
teologi yang muncul dalam menyikapi ini secara garis besar dapat dibagi kepada
dua mazhab yaitu mazhab rasional (ra’yu) yang diwakili oleh mu’tazilah dimana
kemudian filosof tergabung didalamnya dan mazhab non rasional (wahyu), yang
diwakili oleh teolog-teolog Islam konservatif dan fundamentalis yang sampai
hari ini pengaruhnya ada pada ortodoksi Islam tertua yaitu Asy’ariah
(Sunni/Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
Dalam
sejarah Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan kufur adalah diskursus yang
telah membawa pengaruh terhadap hasil karya besar dan spektakuler dalam
kegemilangan peradaban Islam di ranah ilmu pengetahuan. Namun tidak selamanya
diskursus ini penuh dengan kegemilangan, ada juga masa-masa suram dimana dengan
diskursus ini pula telah mematikan kebebasan berfikir, dengan vonis kafir dan
sesat kepada teolog, filsuf dan tokoh-tokoh tasawuf yang punya talenta luar
biasa mengupas seluruh rahasia-rahasia semesta. Persoalan yang dihadapi saat
ini adalah, diskursus wahyu dan akal, iman dan kufur telah dikuasai oleh
ortodoksi Islam. Dalam wahyu dan akal, akal harus tunduk pada wahyu, artinya
wahyu adalah yang utama.
2.
Peranan Akal
dan Wahyu menurut Aswaja
Dalam
pandangan Asy’ariah akal adalah pelayan terhadap wahyu, mereka tidaklah
memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan oleh
Mu’tazilah. Demikian juga persoalan Iman dan kufur juga tidak terlepas dari
cengkeraman ortodoksi Islam yang mengajarkan kepada umat Islam hari ini bahwa
keselamatan hanya dimiliki oleh orang-orang beriman dan hanya ada pada golongan
Asy’ariah (Sunni) yang hari ini menjelma menjadi Ahlus Sunnah wal Jamaah,
diluar golongan ini adalah golongan kufur (kafir) sehingga tidak ada
keselamatan bagi orang-orang kufur, di luar golongan mereka sudah di anggap
ingkar Allah dan ingkar Nabi, karena tidak lagi mengesakan Tuhan dengan zat
maupun sifatNya. Dalam ortodoksi Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan
Kufur adalah seperti definisi di atas dan ini sudah Fixed Price ( harga mati ),
definisi ini semakin mendoktrinasi umat Islam ketika di monopoli oleh lembaga
formal agama seperti MUI, sehingga fatwa-fatwa yang lahir adalah : ” inilah
tauhid yang murni dan sebenarnya, yang harus dipegang umat Islam saat ini jika
ingin selamat, tidak boleh ada peran akal dalam tauhid, tidak boleh ada
kebebasan berfikir dalam tauhid, iman dan kufur sudah jelas, bahwa diluar
Ahlussunnah Wal Jama’ah semuanya sesat dan kufur, tidak bisa ditawar-tawar
lagi, apalagi direlatifkan. Persoalan selanjutnya, Dalam konteks kekinian,
apakah benar tidak ada lagi tawar menawar dalam persoalan iman dan kufur,
apakah ini sesuatu yang tidak bisa di interpretasikan lagi.[1]
Menurut
Aswaja ada beberapa kaedah untuk mengetahui dari permasalahan diatas:
a.
Menurut
ketetapan ahli nazhar (nalar), sarana yang dapat mengantar seseorang pada
keyakinan
ü Akal
ü Panca indra yang sehat
ü Informasi yang jujur
b.
Islam adalah
agama Naql yang diperkuat dengan akal
c.
Pertentangan
tidak akan terjadi antara ketetapan akal dengan Naql hanya saja mereka
beriringan, menurut madzab al-Asy’ari, mendahulukan ketetapan akal
d.
Beberapa pokok
akidah dalam islam yang paling penting ternyata kebenarannya hanya dapat
dibuktikan berdasarkan argumentasi akal, apabila sebaliknya akan menimbulkan
kemustahilan dalam ilmu logika.
e.
Sebenarnya
teori bahwa ketetapan akal harus didahulukan ketika terjadi pertentangan antara
ketetapan akal dengan ketetapan Naql.[2]
Menurut al maturidi lebih luas dengan mempergunakan dalil ‘Aqlinya
dibandingkan dengan al Asy’ari. Sehingga timbul alasan mengapa al-Maturidi
mengedepankan dalil-dalil
a.
Al-Qur’an
banyak sekali menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya dan nalarnya secara
kritis untuk memahami fenomena yang ada dalam alam raya ini maupun pada diri
mereka sendiri. Seprti contohnya pada surat An-Nahl ayat 11-15.
b.
Kondisi
obyektif lingkungan yang dihadapi al-Maturidi merupakan dimensi waktu dan
tempat yang mempengaruhi pandangan dan sikap intelektualnya. Esensi akal untuk
melengkapi dalil/hujjah agama, membuat analisa kemudian mengkonstrusikan dalil
tersebut untuk membuktikan kebenaran agama serta membela keyakinan agama.
Menurut Al-Mawardi akal mengetahui tiga persoalan
ü Akal dapat mengetahui adanya tuhan
ü Akal dapat mengetahui kewajiban mengenai tuhan
ü Akal dapat mengetahui baik dan buruk
Yang dilandasi dengan surah Al-Isra’ ayat 15 serta surat Thaha ayat
134.[3]
serta di tegaskan lagi didalam bukunya pak Omar Bakri Muhammad bahwasannya
Aswaja menjadikan Al-Qur’an dan Sunah sebagai dasar akidah yang lebih baik dari
pada akal, mereka juga tidak menjadikan akal sebagai hujjah untuk menegakan
akidah islam.[4]
3.
Peranan Akal
dan Wahyu menurut Muktazilah
Aliran muktazilah memandang manusia memiliki daya yang besar dan
bebas, menurut jubbai dan abd al jabbar mengatakan bahwasanya manusialah yang
menciptakan perbuatanya, serta dengan tegas menyatakan bahwasanya daya berasal
dari manusia.daya yang terdapat pada
diri manusia adalah terciptanya perbuatan. Dengan paham ini muktazilah masih
mengakui bahwa tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia sebagai pihak
yang mempunyai kreasi untuk mengubah bentuknya.[5]
Menurut Mu’tazilah,
sebagaimana dikemukakan para tokohnya, segala pengetahuan dapat diperoleh
dengan perantaraan akal. Kewajiban-kewajiban dapat diperoleh dengan pemikiran
yang mendalam. Dengan demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turun
wahyu adalah wajib. Baik dan jahat diketahui oleh akal, demikian pula
mengerjakan yang wajib dan menjauhi yang buruk wajib pula.
Menurut
Al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa kewajiban mengetahui Tuhan dan
berterima kasih pada-Nya, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi
perbuatan buruk dapat diketahui oleh akal. Sebelum mengetahui bahwa sesuatu itu
wajib, tentu orang harus terlebih dahulu mengetahui hakikat hal itu.
Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan
berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbutan buruk, orang harus lebih dahulu
mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum mengetahui hal-hal itu,
orang tentu tidak dapat menentukan sikap terhadapnya.
Mengenai
baik dan buruk, Abdul Jabbar mengatakan bahwa akal tidak dapat dapat mengetahui
semua yang baik. Akal hanya mengetahui kewajiban-kewajiban dalam garis besarnya
saja. Akal tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia
di akhirat nanti maupun di dunia.
Dengan
demikian, menurut Mu’tazilah bahwa tidak semua yang baik dan buruk itu, dapat
diketahui oleh akal, karena itu wahyu selain wahyu bersifat informatif dan
konfirmatif, juga berfungsi menyempurnakan pengetahuan akal tentang masalah
baik dan buruk.
Jelaslah
menurut Mu’tazilah, tidak semua yang baik dapat diketahui oleh akal. Untuk
mengetahui hal itu diperlukan wahyu. Wahyu dengan demikian menyempurnakan
pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Selanjutnya wahyu bagi Mu’tazilah,
berfungsi memberi penjelasan tentang perincian pahala dan
siksa di akhirat.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa keempat masalah pokok itu dalam pandangan kaum
Mu’tazilah dapat diketahui oleh akal dan wahyu berfungsi hanya sebagai
konfirmasi dan informasi. Atau dengan kata lain fungsi wahyu hanya kecil.[6]
Muktazilah mengandalkan akal atas nash, mentakwilkan ayat yang
tidak sesuai dengan akal mereka dan menolak hadits sebagai dalil dalam masalah
akidah, oleh karena itu, salah seorang ulama muktazilah yang bernama al-Jahizh
menyatakan, “para ahli hadits adalah orang awam. Mereka lah orang orang yang
hanya bertaklid, tidak dapat menghasilkan dan tidak dapat berikhtiar. Padahal
taklid itu adalah sesuatu yang dibenci menurut dalilakal dan dilarang dalam
al-Qur’an. kedudukan akal menurut muktazilah berada diatas al-Qur’an dan
hadits, oleh karena itu dalam tafsirnya, mereka mencoba menafsirkan al-Qur’an
dengan akal dan memutar ayat suci itu sesuai dengan akalnya.seperti contohnya
mereka menolak mi’raj, serta adzab kubur.[7]
D.
Kesimpulan
Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya
dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan
tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah
wajib bagi manusia. Bentuk akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang
mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadaNya. Juga dengan
wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh pahala
dan yang tidak patuh kepadaNya akan mendapat hukuman.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa menurut pendapat
Al-Asy’ari akal tak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban untuk itulah
diperlukanlah wahyu Menurut Al-Syahrastani salah seorang pengikut al-Asy’ari,
kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan wahyu
dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib, karena akal tidak
membuat sesuatu menjadi harus atau wajib. Wahyu sebaliknya tidak pula mewujudkan
pengetahuan. Wahyu membawa kewajiban-kewajiban. Sedangkan Menurut al-Baghdadi
dan al-Ghazali akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena segala kewajiban dapat diketahui
hanya melalui wahyu. Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui
pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang
memperoleh penjelasan kontradikif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan
wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Dalam menentukan baik buruk pun
terjadi perbedaan di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk
harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
Aliran Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa akal
mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak
dan perbuatannya, mengemukakan bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
haruslah berlaku semutlak-mutlaknya. Al-Asy’ari sendiri menjelaskan bahwa Tuhan
tidak tunduk kepada siapapun dan tidak satu dzat lain di atas Tuhan yang dapat
membuat hukum serta menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh
dibuat Tuhan. Malah lebih jauh dikatakan oleh Asy’ari, kalau memang Tuhan
menginginkan, Ia dapat saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh manusia.
Daftar Pustaka
Hasan, Tholhah Muhammad, Ahlus-sunnah Wal Jama’ah: dalam
presepsi dan tradisi Nu, Jakarta: Lantabora Press,2005.
Muhammad, Omar Bakri, Ahlus-sunnah Wal Jama’ah: keimanan, sifat
dan kualitasnya,Jakarta: Gema Insani,2005.
Navis, Abdurrahman, dkk.,Risalah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dari
pembiasan menuju pemahaman dan pembelaan akidah-amaliah NU, Surabaya:
Khalista, 2012.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2012.
[2] Abdurrahman Navis, dkk.,Risalah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dari
pembiasan menuju pemahaman dan pembelaan akidah-amaliah NU, Surabaya:
Khalista, 2012.hal:27-19.
[3] Tholhah Muhammad Hasan, Ahlus-sunnah Wal Jama’ah: dalam presepsi
dan tradisi Nu, Jakarta: Lantabora Press,2005.hal:27-30.
[4] Omar Bakri Muhammad, Ahlus-sunnah Wal Jama’ah: keimanan, sifat
dan kualitasnya,Jakarta: Gema Insani,2005.hal:61.
[7]
Abdurrahman Navis, dkk.,Risalah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dari
pembiasan menuju pemahaman dan pembelaan akidah-amaliah NU, Surabaya:
Khalista, 2012.hal:65-66.
Komentar
Posting Komentar