MAKALAH FUNGSI HADIST TERHADAP AL-QUR’AN



FUNGSI HADIST TERHADAP AL-QUR’AN
Makalah
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadist
Dosen Pengampu : H. Abdul Sattar, M,Ag.






Di Susun Oleh:


Ahmad Kharir
(1401016092)
Muhammad Hadiq
(1401016096)


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015


I.       Pendahuluan
Beberapa hari atau pekan menjelang akhir hayatnya, konon Rasulullah SAW sempat berwasiat pada sahabatnya (baca umatnya). Diantara wasiat yang dimaksudkan, menurut sebagian muhaddist ialah hadits berikut :
تركت فيكم امرين، لن تضلو اما تمسكتم بهم كتب الله و سنة رسو له( رواه ما لك )
Aku tinggalkan untukmu dua hal. Kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh dengan keduanya: Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya”.(H.R. Malik)
Selain membedakan derajat hadits dari Al-Qur’an, hadis pendek diatas juga mengisyaratkan tentang eratnya pertalian Kitab Allah disatu pihak dan Sunnah Rasul-Nya dipihak lain. Kenyataannya memang menunjukkan bahwa kolongan langit ini, tak seorang muslim pun yang dapat mengamalkan Al-Qur’an tanpa merujuk pada hadis, dan juga tidak aka nada orang yang membicarakan hadits tanpa menyinggung Al-Qur’an.
Kalau boleh diumpamakan, hubungan Al-Qur’an dengan hadits ibarat pertalian dua kalimat syahadat yang bersifat talazum (saling tergantung) atau laksana keterkaitan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) dalam sebuah organisasi.[1] Namun demikian, rincian mengenai keterkaitan diantara keduanya :

II.    Rumusan Masalah
1.      Apa saja fungsi hadits terhadap Al-Qur’an?

III. Pembahasan
A.    Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an secara umum adalah untuk menjelaskan makna kandungan Al-Qur’an yang sanagat dalam dan global atau li al-bayan (menjelaskan) sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-Nahl:44 [2]:
وأ نزلنآ إليك الذّ كر لتبيّن للنّا س ما نزّل إليهم ولعلّهم يتفكر ون (٤٤)
Artinya: "Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan." (Q.S. An-Nahl: 44).


           Namun kemudian para 'ulama hadits merincinya menjadi 4 fungsi hadits terhadap Al-Qur'an yang intinya adalah sebagai penjabaran, dalam bahasa ilmu hadits disebut sebagai bayan, fungsi hadits terhadap Al-Qur'an secara detail ada 4, yaitu:
1.      Sebagai Bayanul Taqrir
Dalam hal ini posisi hadits sebagai taqrir (penguat) yaitu memperkuat keterangan dari ayat-ayat Al-Qur'an, dimana hadits menjelaskan secara rinci apa yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an, seperti hadits tentang sholat, zakat, puasa dan haji, merupakan penjelasan dari ayat sholat, ayat zakat, ayat puasa dan ayat haji yang tertulis dalam Al-Qur'an[3].
Nabi SAW besabda:
إنّالله يمل للظا لم فاذا أخذه لم يقتله
sesungguhnya Allah SWT memanjangkan kesempatan kepada orang-orang zalim, apa’bila Allah menghukumnya maka Allah tidak akan melepasnya
Hadist tersebut cocok dengan firman Allah SWT:
و كذالك أخذ ربّك اذا أخذ القرى و هي ظالمة
dan begitulah adzabtuhanmu apabila dia menadzab penduduk negeri yang berbuat zalim”.(QS. Huud: 102)[4]


2.      Sebagai Bayanul Tafsir
Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai tafsir Al-Qur'an. Hadits sebagai tafsir terhadap Al-Qur'an terbagi setidaknya menjadi 3 macam fungsi, yaitu:
a.       Sebagai Tafshilul Mujmal
Dalam hal ini hadits memberikan penjelasan terperinci terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum, sering dikenal dengan istilah sebagai bayanul tafshil atau bayanul tafsir. Contoh: ayat-ayat Al-Qur'an tentang sholat, zakat, puasa dan haji diterangkan secara garis besar saja, maka dalam hal ini hadits merincikan tata cara mengamalkan sholat, zakat, puasa dan haji agat umat Muhammad dapat melaksanakannya seperti yang dilaksanakan oleh Nabi[5].

b.      Sebagai Takhshishul 'Amm
Dalam hal ini hadits memperkhusus ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum, dalam ilmu hadits sering dikenal dengan istilah bayanul takhshish. Seperti  dalam Q. S. An-Nisa': 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Artinya: "Allah mensyariatkan bagimu tentang anak-anak, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan".
Allah berfirman tentang haq waris secara umum saja, maka di sisi lain hadits menjabarkan ayat ini secara lebih khusus lagi tanpa mengurangi haq-haq waris yang telah bersifat umum dalam ayat tersebut. Kemudian  dikhususkan dengan hadits Nabi:
نخن ـ معا شر الآنبياء ـ لانورث ما تركناه صد قة
kami kelompok para Nabi tidak meninggalkan harta waris, apa yang kamu tinggalkan sebagai sedekah[6]

c.       Sebagai Bayanul Muthlaq
Hukum yang ada dalam Al-Qur'an bersifat mutlak amm (mutlak umum), maka dalam hal ini hadits membatasi kemutlakan hukum dalam Al-Qur'an. Seperti dalam Q. S. Al-Maidah: 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Artinya: "Pencuri laki-laki dan perempuan, maka potonglah tangan mereka".
Difirmankan Allah tentang hukuman bagi pencuri adalah potong tangan, tanpa membatasi batas tangan yang harus dipotong, maka hadits memberi batasan batas tangan yang harus dipotong[7].


3.      Sebagai Bayanul Naskhi
Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai pendelete (penghapus) hukum yang diterangkan dalam Al-Qur'an. Seperti dalam Q. S. Al-Baqarah: 180:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya: "Diwajibkan atas kam, apabila seorang di antara kamu kedatangan maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa".
Allah mewajibkan kepada orang yang akan wafat memberi wasiat, kemudian ayat diatas di naskh dengan hadits Nabi:
انّ الله قد أعطى كلّ ذي حقٍّ حقّه ولا وصيّة لو ارث
sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang mempunyai hak dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris[8]
4.      Sebagai Bayanul Tasyri'
Dalam hal ini hadits menciptakan hukum syari'at yang belum dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an[9]. Contoh untuk bagian ini yaitu hadits Rasulullah SAW tentang zakat fitrah:
عن ابن عمر، أنّ رسول الله صلّ الله عليه وسلّم:فر ض زكاة الفطر من رمضان عل لناس صاعا من تمر،أو صا عا من شعير عل كلّ حرّ،أو أنش من المسامين
bahwasannya Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan

Dengan demikian sesuai dengan Al-Qur’an, firman Allah SWT:
خذ من أموالهم صد قة تطهّر هم وتزكيهم
apabila zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”(Q.S. al-Taubah: 103)
Bahwasannya hadis-hadis Rasulullah SAW yang berupa tambahan terhadap Al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya dan ini bukanlah sikap mendahului Al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.[10]



IV. Kesimpulan
Dari tulisan ini, ada tiga kesimpulan yang ingin disampaikan :
Pertama, antara Hadist dan al-Qur’an, jelas ada pertalaian hubungan yang erat, dan karena satu sama lain tidak dapat dipisahkan kedatipun antara keduanya bisa dibedakan dari berbagai aspeknya.
Kedua, kewajiban mengamalkan hadist disamping al-qur’an, bukan semata-mata karena diperintakan oleh al-Qur’an dan Hadits itu sendiri, melainkan juga disebabkan kebutuhan umat islam kepadanya sangat besar.
Ketiga, kedudukan al-Qur’an sebagai salah satu alat pengukur (instrument) bagi kebenaran makna suatu Hadits, agaknya begitu penting dan karenanya perlu mendapat perhatian serius.[11]



V.    Daftar Pustaka
Abdur rahman, Asjmuni, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI, 1996.
Al-Malik, Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Ichwan, Muhammad Nor, membahas ilmu-ilmu hadis, Semarang: Rasail Media Group,2013.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: AMZAH, 2012.


[1] Abdur Rahman Asjmuni, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis,(Yogyakarta: LPPI, 1996) hal. 61-62.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta: AMZAH, 2012)hal: 18.
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta: AMZAH, 2012)hal: 18.
[4] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) hal. 9-10.
[5] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta: AMZAH, 2012)hal: 19.
[6] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta: AMZAH, 2012)hal: 20.
[7] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta: AMZAH, 2012)hal: 20-21.
[8] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta: AMZAH, 2012)hal: 21.
[9]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta: AMZAH, 2012)hal: 22.
[10] Mohammad Nor Ichwan,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,(Semarang: Rasail Media Group, 2013) hal. 90-91.
[11] Abdur Rahman Asjmuni, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis,(Yogyakarta: LPPI, 1996) hal. 66-67.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH BIDANG DAN LAYANAN BIMBINGAN KONSELING

MAKALAH PERANAN AKAL DAN WAHYU MENURUT MUKTAZILAH DAN ASWAJA